Di negeri yang pernah dijanjikan surga, kini tinggal luka yang menganga. Pajak, yang seharusnya menjadi denyut kehidupan rakyat, berubah menjadi rantai yang membelenggu. Di setiap sudut, keluh kesah terukir pada dinding bisu, bertanya: sampai kapan keadilan hanya menjadi bayangan yang tak tergapai?
Di meja kayu berdebu, lembaran kertas berteriak,
Angka-angka berdansa, menggiring jiwa ke lubang gelap.
Tangan-tangan kuasa menadah tanpa wajah,
Mengiris peluh rakyat, menggenggam sisa nafkah.
Di balik jubah hukum, sembunyi para serigala,
Menelan pajak dengan tawa, menyisakan darah di dada.
Janji-janji berkilau, seperti emas di pagi hari,
Namun berlubang di malam, menghianati janji suci.
Negeri ini, perahu dengan layar robek,
Berlayar di lautan janji yang tak pernah tiba.
Rantai pajak mengikat kaki petani,
Sementara istana berdansa di pesta emas suci.
“Untuk rakyat,” kata mereka dengan nada baja,
Namun jalan berdebu tetap menggigil tanpa cahaya.
Jembatan mimpi runtuh sebelum ditapaki,
Hanya segelintir yang merasakan surga duniawi.
Langit menunduk malu, menyaksikan pesta tirani,
Di mana keadilan hanyalah bayang di cermin pagi.
Rakyat mengunyah getir dalam nasi basi,
Menunggu hari di mana mereka kembali berarti.
Di ujung gang sempit, harapan menyalakan lilin,
Tangan kecil memeluk ibu yang hilang senyumnya.
Mereka bertanya pada tanah yang retak,
“Di mana harta kami? Di mana janji merdeka?”
Oleh: ddandrn
Begitu berat beban yang harus dipikul rakyat kecil, hingga setiap langkah terasa seperti mendaki gunung tanpa puncak. Namun di antara serpihan asa yang tercerai-berai, tersisa satu pertanyaan yang menggema di hati: adakah hari di mana rantai ini akan lepas, dan keadilan benar-benar berdiri di sisi kami?
Karya kamu mau di post juga?
Klik disini Untuk hubungi Admin ya!
Find me :
- Facebook: ddandrn
- Instagram: ddandrn
- Twitter: ddandrn
- Youtube: ddandrn
- Channel Telegram: Prosa Indonesia
No Comments