Kala senja menyapa Mataram, Mentari semakin redup perlahan.
Di antara temaram dan kesenyapan, Kutulis rindu dalam lembaran.
Tanah sang Sultan,
Yang ditempati orang-orang istimewa,
Jogja memiliki jalinan erat pada adat istiadat.
Keraton milik sang Raja,
Putri Agung, parasnya yang menawan,
Khas dengan ciri dalam tubuhnya,
Tak semua bisa jadi ia.
Jogja, aku titip ia sang angin,
Yang tak memiliki keinginan.
Bila nanti ia datang, sambutlah dengan rindu,
Seraya ia pamit, tunggu ia kembali bersamaku.
Hujan merindu disertai dengan abu,
Entah kapanpun itu, aku menyusul dengan waktu.
Jikalau tak sempat, ku titip pada temu,
Untuk memberitahu, walau mimpi yang tak pasti.
Oleh: Alkana Alvno
Biarkan waktu mengukir cerita, Di tanah para raja yang bijaksana.
Jogja tetap abadi dalam jiwa, Meski langkahku menjauh dari singgasana.
Analisis Puisi: “Jogja” Karya Alkana Alvno
“Jogja” adalah sebuah puisi karya Alkana Alvno yang menggambarkan keintiman antara kota Yogyakarta dan maknanya bagi penyair. Dengan tema utama tentang kenangan, kerinduan, dan keistimewaan, puisi ini menghidupkan harmoni antara adat, budaya, dan perasaan. Yogyakarta, kota yang dikenal dengan julukan Kota Istimewa, menjadi pusat gravitasi emosional dalam karya ini.
Mengapa puisi ini relevan? Di tengah arus modernisasi, puisi ini menjadi pengingat tentang pentingnya akar budaya dan hubungan emosional yang mendalam dengan sebuah tempat. Untuk pembaca modern, puisi ini menawarkan nostalgia sekaligus penghubung spiritual pada makna sebuah “rumah”.
Analisis Detail Puisi: “Jogja” Karya Alkana Alvno
Jenis Puisi
Puisi ini termasuk puisi liris dengan pendekatan romantis-kultural. Nuansa personal dalam setiap bait menyiratkan pengalaman batin penyair, namun tetap membiarkan pembaca menemukan refleksinya sendiri.
Analisis Bait
- Bait Pertama
“Tanah sang Sultan,
Yang ditempati orang-orang istimewa,
Jogja memiliki jalinan erat pada adat istiadat.”
Diksi seperti “Tanah sang Sultan” dan “orang-orang istimewa” menggambarkan penghormatan kepada Jogja sebagai pusat kebudayaan. Adat istiadat menjadi identitas kuat yang mengikat tempat ini dengan jiwa kolektif masyarakatnya. Suasana yang dihadirkan di sini adalah penghormatan mendalam kepada tradisi.
- Bait Kedua
“Keraton milik sang Raja,
Putri Agung, parasnya yang menawan,
Khas dengan ciri dalam tubuhnya,
Tak semua bisa jadi ia.”
Keraton dan Putri Agung menjadi simbol keagungan dan keindahan yang eksklusif. Penyair menekankan bahwa keistimewaan Jogja adalah sesuatu yang tak bisa ditiru. Imaji tentang paras menawan menciptakan visual yang elegan, menggugah pembaca untuk mengingat keindahan nyata kota ini.
- Bait Ketiga
“Jogja, aku titip ia sang angin,
Yang tak memiliki keinginan.
Bila nanti ia datang, sambutlah dengan rindu,
Seraya ia pamit, tunggu ia kembali bersamaku.”
Bagian ini menggambarkan kerinduan yang mendalam. Sang angin menjadi metafora perantara pesan kasih dan nostalgia, memberikan puisi ini suasana yang melankolis. Kalimat seperti “sambutlah dengan rindu” menunjukkan hubungan emosional yang sangat kuat antara penyair dan kota ini.
- Bait Keempat
“Hujan merindu disertai dengan abu,
Entah kapanpun itu, aku menyusul dengan waktu.
Jikalau tak sempat, ku titip pada temu,
Untuk memberitahu, walau mimpi yang tak pasti.”
Imaji hujan dan abu menciptakan suasana dramatis yang mempertegas ketidakpastian dalam penantian. Kalimat “aku menyusul dengan waktu” dan “walau mimpi yang tak pasti” menunjukkan ketidakpastian yang menyakitkan, namun tetap penuh harapan.
Interpretasi Pribadi
Menurut saya, puisi ini adalah refleksi mendalam tentang keterikatan emosional pada Jogja, tidak hanya sebagai tempat fisik tetapi sebagai simbol kenangan, cinta, dan identitas. Alkana Alvno berhasil menggambarkan Jogja sebagai ruang yang hidup dan bernafas, tempat di mana budaya dan perasaan berkelindan menjadi satu.
Baca juga:
– Puisi Liris “Lukisan Kata”
– Puisi Liris “Monolog Luka”
Bait-baitnya menghadirkan kekayaan makna, mulai dari penghormatan kepada tradisi hingga kerinduan yang terasa universal. Saya merasa bahwa puisi ini bukan hanya tentang Jogja, tetapi juga tentang tempat apa pun yang kita anggap sebagai “rumah” dalam hati.
Kesimpulan
“Jogja” mengajarkan kita bahwa sebuah tempat bukan hanya sekadar lokasi geografis, tetapi adalah akumulasi dari kenangan, cinta, dan jiwa yang kita tinggalkan di sana.
Apa yang Anda rasakan setelah membaca puisi ini?
Apakah ada tempat yang membawa Anda pada nostalgia yang sama seperti yang penyair sampaikan dalam “Jogja”? Mari berbagi cerita tentang tempat-tempat istimewa Anda. 🌏
Karya kamu mau di post juga?
Klik disini Untuk hubungi Admin ya!
Follow Us:
– Youtube
– Channel Telegram
– Fan Page Facebook
No Comments